Sejarah K.H.Z.Musthafa



K.H.Z. Musthafa: Antara Kiai Pesantren, Pembaharu, Pejuang dan Pahlawan Serta Nilai-Nilai Perjuangan dan Kepahlawanannya[1]

Oleh : Dr. Nurul Hak, S.A.g., M.Hum


A. Pengantar   
            Dalam memahami dan menggali kembali nilia-nilai kepejuangan dan kepahlawanan K.H.Z. serta kontribusinya terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia, paling tidak ada tiga poin penting yang perlu untuk dibahas. Pertama sosok K.H.Z. Musthafa, kedua pesantren dan ketiga konteks sosial-politik awal dan paroh pertama abad ke-20 di mana K.H.Z. hidup dinamis dan berjuang melakukan pemberontakan terhadap Jepang.
Sosok K.H.Z. penting untuk dibahas sekilas untuk menjelaskan proses sejarah hidupnya sebelum menjadi syahid dan pahlawan nasional, filsafat dan pandangan hidup yang mempengaruhi jalan hidupnya, melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap Jepang. Artinya perlawanan dan pemberontakan, kepejuangan dan kepahlawanan K.H.Z. bukanlah suatu tindakan instan dan “kun fayakun,” melainkan suatu ideologi kiai dan pesantren yang dilandasi amar ma’ruf nahyi munkar di satu sisi dan nilai-nilai keikhlasan dalam berjuang di sisi lain. Kedua nilai ini merupakan pondasi utama perjuangan K.H.Z. Musthafa dalam pergerakan menentang penjajah Belanda dan Jepang dan memperjuangkan kemerdekaan R.I.  
Sementara pesantren dalam kaitannya dengan perjuangan K.H.Z. dapat dipahami tidak hanya sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan kajian kitab-kitab kuning, tetapi juga sebagai kancah perjuangan dan pergerakan nasional, yang sebagaimana dinyatakan olleh Taufiq Abdullah, memiliki peran dinamis dan kontribusi ke dalam (pesantren) dan ke luar (masyarakat luas dan bangsa), dalam dinamika dan transformasi sosial-politik dan sosial budaya bangsa.[2] Persepsi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang jumud dan statis, dalam konteks Pesantren Sukamanah dan peranan K.H.Z. Musthafa tidak lagi relevan dan menjadi sesuatu yang a historis. Demikian juga tesis Zamakhsyari Dhofir yang menegaskan pesantren sebagai sebuah tradisi tidak cukup relevan untuk Pesantren Sukamanah di bawah pimpinan K.H.Z. Musthafa. Karena faktanya pesantren menjadi kawah candradimuka dan pioner dalam pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan R.I dari belenggu kolonialisme yang eksploitatif dan sewenang-wenang.           

Awal dan paroh pertama abad ke-20 merupakan latar belakang sosio-historis, sosio-politik dan jiwa zaman (spirit of age) yang dapat menjelaskan baik konteks dinamika dalam lingkup nasional maupun dalam konteks lokal di Sukamanah dan Tasikmalaya. Konteks lokal banyak terpengaruh oleh konteks nasional, meskipun dalam beberapa hal menunjukkan varian budaya yang khas dan unik. Pada awal dan paroh pertama abad ke-20 ini paling tidak ada tiga trend besar yang berkembang baik dalam lingkup nasional maupun lokal; nasionalisme atau pergerakan nasional, kebangkitan pendidikan nasional dan proses modernisasi.  
Dalam konteks nasional, awal dan paroh pertama abad ke-20, sebagaimana dinyatakan oleh Sartono Kartodirdjo dan Karl A. Steenbrink, memiliki dua ciri yang relatif berbeda namun memiliki semangat yang sama yaitu pergerakan nasional atau nasionalisme[3] dan kebangkitan pendidikan Islam.[4] Pergerakan nasional dicirikan oleh nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan RI dengan munculnya berbagai organisasi sosio-kultural dan sosio-politik baik di pusat maupun di daerah.[5] Sedangkan kebangkitan pendidikan Islam pada hakikatnya bagian dari kebangkitan nasional, ditandai oleh maraknya kemunculan sistem pendidikan, baik yang bercorak nasional-sekuler maupun keagamaan Islam, seperti pesantren, madrasah dan sekolah. Munculnya Politik Etis atau Politik Balas Budi kolonial Belanda, yang secara prinsip menguntungkan kaum priyayi dan menak dalam bidang pendidikan, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap maraknya pendidikan nasional-sekuler yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial Belanda dan pendidikan Islam sebagai pendidikan alternatif di sisi lain.[6] Demikian juga kembalinya masyarakat Muslim Tanah Air sebagai para pencari ilmu dari Timur Tengah, khususnya Mekah, memberikan dorongan terhadap perkembangan pendidikan Islam.
Dalam sejarah lokal di Tasikmalaya antara tahun 1905–1950 terdapat beberapa peristiwa sejarah penting pesantren yang berkaitan dengan beberapa fenomena dinamika sosial-budaya dan sosial-politik kolonial seperti tersebut di atas. Pada awal abad ke-20 di Tasikmalaya tengah gencar dilakukan pembangunan dalam berbagai bidang; agama, sosial, budaya, dan politik.[7] Selain itu, bermunculan berbagai organisasi kedaerahan, keagamaan dan nasional, sebagai pengaruh dari pergerakan nasional yang terjadi di pusat dan berbagai daerah di Tasikmalaya. Di sisi lain, kiai pesantren yang berada di wilayah ini terbagi ke dalam dua kelompok ; kelompok kiai kooperatif terhadap pemerintah (bupati) yang berada di bawah kolonial dan kelompok non kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Kelompok kiai yang kooperatif terhadap kolonial termasuk dalam kelompok kiai Idhar. Sementara kelompok kedua termasuk kategori kiai bebas, tidak terikat dan terkooptasi oleh pemerintah kolonial.[8] Kelompok kedua ini pun terbagi dalam dua kategori; non kooperatif secara diam-diam tanpa melakukan perlawanan dan kelompok non kooperatif yang melakukan provokasi, perlawanan, dan pemberontakan. Kelompok non kooperatif ini vis a vis terhadap kolonial.       
Dari kedua kelompok ini, K.H.Z. Musthafa merupakan sosok kiai pesantren yang masuk dalam kelompok kedua, yang menentang secara terang-terangan baik terhadap kolonialisme Belanda maupun Jepang. Meskipun secara politik kolonial Jepang “lebih memihak dan merangkul para ulama” namun K.H.Z. Musthafa tetap tidak mau kooperatif dengan kolonial dan pemerintahan Dai Nippon Jepang, karena kolonialisme pada hakikatnya menyengsarakan dan menistakan rakyat. Di samping itu, hal yang paling dibencinya adalah perintah pemerintah Dai Nippon untuk Sei Kerei membungkukkan badan ke arah arah timur Tokyo dan tempat terbitnya matahari.
Kepejuangannya dalam melawan dan menentang penjajahan baik kolonial Belanda maupun Jepang, pada hakekatnya bukan sekedar pemberontakan, melainkan jihad melawan munkarot sebagai bagian dari panggilan suci agama Islam. Jihad dan perjuangan itu yang diawali dan berangkat dari pesantren, menunjukkan bahwa K.H.Z. Musthafa bukan sekedar kiai pesantren yang hanya mendidik para santri dan mengajarkan kitab. Tetapi dalam konteks yang luas beliau juga mengajarkan semangat pembaharuan, perjuangan, nasionalisme, keberanian menegakkan kebenaran dan menentang kezaliman (kemunkaran) dalam konteks penjajahan, kecintaan terhadap agama dan Tanah Air dan kemampuan memberikan solusi terhadap persoalan bangsanya. Dalam konteks inilah mengkaji dan menggali kembali sejarah perjuangan dan kepahlawanan K.H.Z. Musthafa bukan sebuah romantisme sejarah yang menengok ke belakang dengan terninabobo oleh kemasa-laluannya. Melainkan suatu proses memaknai, mengapresiasi, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari perjuangannya dalam konteks masa kini untuk progresifitas dan transformasi umat Islam, khususnya kaum santri dari pesantren, pada masa kini dan masa depan. Nilai-nilai kesejarahan dan perjuangan masa lalu K.H.Z. akan senantiasa hidup sepanjang zaman jika ia dimaknai secara substansial, apikatif dan transformatif. Karena di dalamnya terkandung banyak nilai-nilai luhur dan mulia bagi generasi muda Muslim, khususnya santri yang masih sangat relevan untuk masa kini dan masa depan. Apalagi jika meninjau pada kenyataan di tengah-tengah bobroknya moralitas bangsa melemahnya semangat nasionalisme dan patriotisme kebangsaan. Di sinilah salah-satu makna penting sejarah perjuangan K.H.Z. Musthafa.               

B. Sosok K.H.Z. Musthafa
            Tulisan-tulisan sejarah menyebutnya sebagai seorang Pahlawan Nasional. Dalam tulisan yang lain, beliau disebut sebagai pemberontak dan perlawanannya terhadap penjajah Jepang disebut pemberontakan. Sebagiannya lagi menyebutnya dengan ulama oposan. Sebenarnya, sebutan K.H.Z. Musthafa tidak hanya sekedar sebagai seorang Pahlawan Nasional. Pada hakikatnya, K.H.Z. adalah seorang kiai kosmopolitan, visioner, multi-dimensi. Beliau adalah seorang pencari ilmu sejati, seorang kiai, seorang intelektual dan pembaharu, seorang da’i, seorang aktifis muda, seorang pejuang dan pahlawan kemerdekaan RI. Oleh karena itu, tidak lengkap jika K.H.Z. Musthafa (K.H.Z.M.) hanya disebut dengan Pahlawan Nasional.
Untuk memahami K.H.Z.M. secara utuh dan komprehensif perlu dilacak terlebih dahulu dari beberapa fase dalam kehidupannya berikut. Pertama, fase sebagai santri penuntut ilmu (santri pengelana ilmu) di beberapa pondok pesantren di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Kedua, fase sebagai kiai pesantren yang menyebar-luaskan ilmu di Pondok Pesantren Sukamanah. Ketiga fase sebagai aktifis pengurus NU di Kabupaten Tasikmalaya. Keempat fase, sebagai pejuang nasional dan simbol perlawanan terhadap kolonialisme Jepang, yang berarti juga perlawanan terhadap penjajahan, penindasan, eksploitasi sumber-daya alam, dan kesewenang-wenangan. Dan kelima fase sebagai pahlawan nasional yang perjuangan dan jasa-jasanya untuk kemerdekaan bangsa dan negara RI diakui oleh pemerintah. Fase pertama dan kedua adalah fase terpenting dalam tahapan kehidupan K.H.Z.M. dan dalam memahami peran, perjuangan, pembaharuan dan kontribusinya serta nilai-nilai kepahlawanannya. Karena tiga fase berikutnya merupakan konsekuensi dari kedua fase pertama tersebut.
Kelima fase di atas juga dapat dijadikan sebagai latar-belakang (background) untuk memahami kepribadian, kiprahnya dan perjuangannya baik dalam kancah lokal maupun nasional.
Tulisan ini mencoba untuk melihat sosok K.H.Z. Musthafa dari berbagai aspeknya dan dari prosesualnya secara kronologis untuk menunjukkan sosoknya secara relatif lebih mewakili. Petualangannya dalam belajar dan mencari ilmu akan diulas lebih awal untuk menegaskan proses awal dan aktifitasnya “sebelum menjadi” seorang kiai, pembaharu, dan pahlawan sehingga dapat dipahami konteksnya. 

1. Berawal dari Seorang Santri Dinamis yang Antusias dan Haus Ilmu
            Dalam beberapa sumber, K.H.Z. Musthafa, yang nama lahir dan masa kecilnya dikenal dengan Umri lalu berganti Hudaimi ketika remaja, sempat mencari ilmu di beberapa tempat; di Gunungpari (Sukamenak), Cilenga (Leuwisari),  Sukamiskin (Bandung), Sukaraja (Garut) dan Jamanis.[9] “Petualangan” dan pencarian ilmunya di lima pesantren di atas menunjukkan bahwa K.H.Z. Musthafa merupakan seorang pencari dan pecinta ilmu sejati yang berambisi dan haus terhadap samudra ilmu Tuhan yang sangat luas dan tak bertepi. Sebagai pencari dan pecinta ilmu sejati, beliau senang dan tidak bosan untuk terus menuntut ilmu di berbagai tempat di Jawa Barat, bahkan hingga ke luar Negeri (Mekkah). Total masa pencarian ilmunya sejak masa remaja di Gunungpari hingga berakhir di Mekkah mencapai 15 tahun. Sementara sebagai seorang yang ambisius dan haus terhadap ilmu ditunjukkannya dengan naluri dan bakat kesantriannya yang tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang telah diperolehnya, meskipun setelah 7 tahun mondok di Gunungpari, Ajengan Fakhruddin, kiai dan pengasuh pondoknya, berkata secara terus terang kepadanya, “Hudaemi, ayeuna mah elmu Akang geus beak kabeh, jig maneh geura pindah ayeuna mah ka Pasantren Cilenga, sabab di Cilenga aya ajengan anu bisa ngaji, nyaeta Kiai Haji Sobandi.”[10] Demikian juga ketika telah belajar dan mengajar di Pesantren Cilenga, Leuwisari, K.H. Sobandi berkata terus terang di hadapannya,  sambil mengipas-ngipaskan kitab yang dipegangnya, “Beak-beak elmu Akang.” Petualangannya tidak berhenti sampai di situ, tetapi berlanjut di Sukamiskin, Bandung, selama 3 tahun, Sukaraja, selama tiga tahun dan Jamanis selama satu tahun, hingga akhirnya beliau pergi ke Tanah Suci, Mekkah dan menuntut ilmu di sana selama 5 tahun.
            Petualangan dan pendalaman keilmuan K.H.Z. Musthafa di berbagai tempat dan wilayah ini, yang berlangsung lebih-kurang selama 15 tahun, merupakan tahap awal yang perlu diungkap dan ditelusuri dalam rangka memahami sepak terjang perjuangannya, baik di pesantren, masyarakat dan dalam kancah nasional. Artinya, sumber dan dasar keilmuan K.H.Z. Musthafa yang matang, masagi dan imparsial (syamil), menjadi landasan utama dalam memahami arah dan tujuan perjuangannya. Pengembaraan selama 15 tahun di pesantren juga menunjukkan bahwa K.H.Z. Musthafa melakukan perjuangannya berawal dari dan dilakukan dengan dasar iman (tauhid) yang kuat dan ilmu yang sejalan seiring. Dari pengembaraannya di pesantren juga dapat diketahui bahwa sejak masih mencari ilmu (mondok) di Gunungpari, Umri atau Hudaimi (K.H.Z. Musthafa) sudah dekat dengan Zainal Muhsin (K.H. Zaenal Muhsin) yang oleh Ajengan Fakhruddin sudah dijadikan sebagai pendamping dan pembimbingnya. Dalam perjalanan sejarah perjuangan K.H.Z. Musthafa, K.H. Zaenal Muhsin ini, di samping sebagai saudara sepupu dan pendampingnya, juga memiliki peran yang penting sebagai tokoh di belakang layar, yang banyak memberikan pengaruh yang besar dalam proses perjalanan sejarah dan perjuangan K.H.Z. Musthafa, termasuk sangat boleh jadi dalam rencana pemberontakannya.[11] 

2. Sebagai Kiai Pesantren, Intelektual dan Pembaharu
Pada prinsipnya, beliau adalah seorang kiai pesantren yang mendirikan pesantren Sukamanah (1927) dan menjadi pengasuhnya, setelah melakukan proses pencarian ilmunya yang cukup panjang dan lama. Kiprahnya dalam perjuangan diawali dari pesantren. Oleh karena itu, apapun julukan, gelar, peran dan jasanya tidak dapat lepas dari posisi dan kedudukannya sebagai seorang kiai pesantren.
Di pesantren Sukamanah, beliau melakukan pembaharuan sistem pembelajaran pesantren, kurikulum, dan metode pembelajaran kitab-kitab pesantren. dan integrasi ilmu-ilmu syari’at-tasawuf, ilmu agama dan umum dalam satu kurikulum. Dalam sistem pembelajarn pesantren, beliau mengintegrasikan pembelajaran ilmu syari’at-tasawuf, dan ilmu-ilmu agama dan umum. Belajar di pesantren juga menerapkan sistem kelas dan pembatasan jenjang belajar maksimal 6 tahun. Sistem kelas menyerupai sistem sekolah yang berjenjang berdasarkan kelas, dari tingkat satu sampai tingkat 6. Ini menjadi bagian dari modernisasi pendidikan pesantren ditinjau dari sistem pendidikan Islam semacam pesantren dan konteks zamannya. Sedangkan dalam kurikulum pesantren, materi-materi pembelajaran tidak hanya sebatas ilmu-ilmu agama klasikal dan kitab-kitab kuning yang biasa dipelajari di pesantren. K.H.Z. Musthafa bahkan menambahkan materi pelajaran sejarah, bahasa Belanda (bahasa Asing) ke dalam kurikulum pesantern sebagai materi wajib. Di samping itu, ilmu beladiri juga menjadi bagian dari pendidikan yang diajarkan di pesantren. Di samping itu, di Pesantren Sukamanah juga diajarkan riyadhah batin, berupa Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah setiap Selasa Malam (Malam Rabu) yang dipimpin oleh Ajengan Umar dari Banjar, Ciamis. Dengan demikian, pendidikan di Pesantren Sukamanah menyeimbangkan atara aspek jasmani dan rohani, meliputi, intelektual, spiritual dan biologis.    
Penambahan materi pelajaran sejarah dan bahasa Asing (Belanda) menunjukkan kejelian dan ketajaman K.H.Z. dalam memahami perkembangan kondisi bangsa dan respon terhadap perkembangan empirik dunia eksternalnya yang real. Materi sejarah ditujukan untuk menanamkan pengetahuan sejarah perjuangan dan pergerakan bangsa, di samping untuk menumbuhkan kebencian dan anti kolonialisme yang menjajah rakyat dan mengeksploitasi kekayaan dan sumber daya alam bangsa. Sementara bahasa asing (Belanda) ditujukan agar santri mampu memahami dan berkomunikasi dalam bahasa kolonial yang memang dominan pada masanya.
Metode pembelajaran kitab pun dirombaknya dengan metode yang lebih simpel dan praktis. Untuk memudahkan santri-santrinya memahami kitab yang dikajinya, K.H.Z. Musthafa menerjemahkan kitab-kitab tersebut dengan loghat (makna) sunda. Tidak kurang dari 20 kitab yang telah diterjemahkan oleh K.H.Z., meliputi ilmu syari’at (kitab-kitab fiqh), ilmu bahasa Arab, al-hikmah (filsafat) dan sejarah.[12]  
Sebagai kiai dan pengasuh pondok Pesantren Sukamanah, aktifitas K.H.Z. tidak hanya mengurusi santri dan pesantrennya di dalam, tetapi juga melakukan aktifitas di luar peasantren, baik sebagai penceramah di berbagai tempat di masyarakat maupun sebagai pengurus NU Kabupaten Tasikmalaya. Beliau juga memiliki relasi yang luas dengan beberapa kiai pesantren, khususnya kiai-kiai di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Sahabat terdekatnya adalah al-Marhum K.H. Ruhiyat atau sering disebut Ajengan Cipasung dan K.H. Umar dari Banjar yang mengajar Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah di Pesantren Sukamanah dan guru-gurunya di Cilenga, Sukamiskin, Sukaraja dan yang lainnya. Dengan beberapa aktifitas di luar pesantren ini, sebagai seorang kiai pesantren K.H.Z. memiliki banyak relasi dan media sosio-kultrual, yang pada perjalanan berikutnya menjadi corong dalam menyebar-luaskan penentangannya terhadap kolonialisme Jepang.
Aktifitasnya sebagai penceramah atau da’i dan muballigh di masyarakat memiliki peran signifikan dalam penanaman aqidah dan cakrawala wawasan ilmu-ilmu keagamaan di satu sisi dan penyebar-luasan ide-idenya yang anti kolonial Jepang. Sebelum terjun menjadi pejuang dalam penentangan, penolakan dan pemberontakan terhadap kolonialisme Jepang, K.H.Z. Musthafa telah lebih dulu menanamkan ide-ide penentangannya terhadap penjajah Jepang dalam ceramah keagamaan melalui majlis-majlis ta’lim dan tabligh akbar. Stigma kafir bagi penjajah Jepang, kolonialisme (Jepang) menyebar-luaskan kemusyrikan dengan perintah menyembah menghadap matahari dan menyengsarakan rakyat kecil dengan politik berasnya menjadi bagian dari upaya awalnya dalam penanaman doktrin anti kolonialisme Jepang di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek dakwahnya. Dalam kaitan ini, jauh sebelum melakukan perjuangan dan pemberontakan fisik terhadap kolonial Jepang, K.H.Z. Musthafa telah merintisnya lebih dahulu dalam ceramah-ceramah keagamaan yang kritis terhadap kebijakan dan perlakuan kesewenang-wenangan kolonial Jepang terhadap rakyat. Oleh karena itu, ide penentangan dan penolakan terhadap kolonialisme Jepang bukan sebuah ide spontan atau dadakan, melainkan ide yang telah dirancang dan dibangun sejak beliau menjadi da’i dan kiai pesantren. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap pemerintahan Jepang telah mengantarkannya keluar-masuk penjara di Tasikmalaya dan Sukamiskin, Bandung.[13]   
Titik tolak ide anti kolonialisme Jepang bagi K.H.Z. Musthafa berpangkal pada dua hal. Pertama, aqidah dan tauhid Islam yang menjadi sumber utama ide dan aksi perjuangannya. Dari sisi aqidah, penyembahan terhadap matahari (melalui tradisi kolonialisme Jepang yang memerintahkan membungkuk ke arah matahari) merupakan kemusyrikan dan penyimpangan aqidah. Kedua, fakta bahwa kolonialisme Jepang mengeksploitasi dan menyengsarakan rakyat pedesaan. Penistaan dan penyengsaraan rakyat oleh kolonial dianggap sebagai sebuah kedzaliman (penganiayaan) dan kesewenang-wenangan, sehingga harus ditolak dan dilawan. Kedua hal ini diistilahkan oleh K.H.Z. Musthafa sebagai munkarot.

C. Perjuangan K.H.Z. Musthafa dalam Jihad Melawan Penjajah Jepang
            Pemberontakan Sukamanah terhadap Jepang yang dipimpin oleh K.H.Z.   Musthafa dan Ajengan Najmudin berawal pada tanggal 24 Februari 1944. Waktu itu hari Kamis, ketika pemerintah militer Jepang di Keresidenan Tasikmalaya mengirim satu regu tentara bersenjata untuk mrnangkap K.H.Z. Musthafa. Para santri yang telah mengetahui kedatangan mereka, lebih dahulu menangkap mereka, melucuti senjatanya dan menyerahkannya kepada K.H.Z. Musthafa sebagai rampasan perang.[14] Peristiwa ini menyulut amarah pemerintah Jepang, sehingga keesokan harinya, 25 Februari 1944, saat K.H.Z. Musthafa melangsungkan Khutbah Jum’at, empat kompetei Jepang datang ke Sukamanah. Setelah sholat Jum’at terjadi pembicaraan antara kompetei Jepang, K.H.Z. Musthafa dan Ajengan Najmudin, yang menjamin dapat mengembalikan senjata rampasan dan menggantikannya dengan empat kepala kompetei. Para santri yang sudah tidak terkendalikan lagi emosinya, mengeroyok empat tentara Jepang itu dan baku hantam di tengah-tengah sawah. Tiga dari empat tentara Jepang mati dan satu orang berhasil melarikan diri dengan luka di sekujur tubuh dan menembak seorang santri bernama Nur. Peristiwa ini awal dari pertempuran dan jihad pasukan Sukamanah melawan Jepang. Karena setelah peristiwa itu, sore harinya, kira-kira pukul 16.00 setelah Ashar, beberapa barisan tentara Jepang dengan menaiki truk tiba di Sukamanah. Di dalam truk itu bercampur antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia yang berada di barisan depan. Mengetahui taktik dan politik adu domba, K.H.Z. Musthafa memerintahkan kepada masing-masing kepala pasukan untuk hanya memerangi tentara jepang dan agar tidak memerangi rakyat sendiri, kecuali jika diserang lebih dahulu.
Dengan persenjataan lengkap, terdiri dari senapan dan senjata api, pistol dan granat tentara Jepang telah menyerang lebih dahulu dari atas truk menembaki pasukan Sukamanah yang berjumlah lebih kurang 2000 orang, hingga terjadi pertempuran sengit antara pasukan tentara Jepang dengan pasukan Sukamanah selama lebih kurang 90 menit. Pasukan Sukamanah merengsek masuk ke atas truk dan merengsek menggunakan senjata bambu runcing. Di atas truk pertempuran terjadi dalam jarak dekat dengan baku hantam kedua pasukan. Dengan keunggulan senjata, tentara Jepang berhasil memukul mundur pasukan Sukamanah. Menjelang waktu Maghrib pasukan Sukamanah sudah dapat dilumpuhkan. K.H.Z. Musthafa dan para pengikut setianya dibawa tentara Jepang ke Tasikmalaya untuk ditahan dan dipenjarakan.[15] Semenjak saat itulah keberadaan K.H. Zaenal Musthafa tidak diketahui secara pasti keberadaannya hingga masa kewafatannya.[16]                   
                            

D. Nilai-Nilai Perjuangan dan Kepahlawanan K.H.Z. Musthafa
1. Kepemimpinan (Leadership)
Sebagai seorang kiai pesantren, K.H.Z. Musthafa memiliki kemampuan kepemimpinan yang handal dan visioner, baik dalam memimpin pesantren, masyarakat dan perlawanan atau pemberontakan terhadap penjajah Jepang. Keberhasilannya dalam memimpin pesantren tampak dari beberapa hal berikut. Pertama, membuat kurikulum pesantren lebih modern dengan memadukan ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum, ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara integratif, tidak dikotomis, di tenah-tengah sistem pendidikan pesantren yang dipinggirkan oleh sistem politik etis kolonial. Kedua, melakukan pembaharuan dalam sistem kelas dan penerjemahan kitab-kitab untuk membatasi masa belajar santri di pesantren dan memudahkan mereka memahami kitab-kitab kuning yang dikajinya. Ketiga, secara lebih luas, K.H.Z. Musthafa juga berhasil mengangkat pesantren kepada dunia luar sebagai kancah pergerakan dan simbol perlawanan terhadap kezaliman, kesewenang-wenangan dan sikap penistaan pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pesantren di bawah kepemimpinan K.H.Z. Musthafa menjadi bagian dari pergerakan nasional, sehingga pesantren “mampu melakukan mobilitas sosial“ dari pinggiran ke pusat, dari lokal ke kancah nasional bahkan  internasional. Fenomena kepemimpinan seperti ini dalam sejarah di Indonesia hanya mampu dilakukan oleh segelintir ulama atau kiai yang memiliki “enebling,” imkaniyah, maharah dan kejeniusan dalam membaca dinamika jiwa zamannya. Keempat, sepagai pemimpin pesantren, K.H.Z. Musthafa mampu membaca dan memahami persoalan zamannya dan mampu memberikan respon alternatif yang kontributif dan solutif (problem solver) bagi masyarakat dan bangsanya.
Sementara sebagai pemimpin masyarakat dan da’i beliau berhasil membangunkan dan membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya dan madharatnya penjajahan di Tanah Air, sehingga masyarakat khususnya di sekitar Sukamanah menjadi anti penjajah Jepang dan menjadi bagian dari perjuangannya. Di sisi lain K.H.Z. Musthafa juga berhasil membangun komunikasi non formal dengan mereka, baik dalam majlis ta’lim dan pengakian-pengajian maupun dalam hubungan interaksi sosial.   
Di dalam perlawanan dan pemberontakan Sukamanah yang dikomandani langsung oleh K.H.Z. Musthafa, keberhasilannya dalam kepemimpinan bukan terletak pada pertempuran fisiknya. Melainkan pada kemampuannya mengkoordinasikan pasukannya, soliditas pasukan bambu runcing yang di bawah komandonya tidak ada satupun dalam sumber sejarah yang ada santri dan masyarakat yang ikut dalam pemberontakan tersebut melarikan diri, bercerai dari pasukan komando (mufaraqah), membelot dan berkhianat. Semuanya kompak di bawah satu komando kepemimpinan K.H.Z. Musthafa.
Di sisi lain, dalam melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap penjajah Jepang keberhasilan kepemimpinan K.H.Z. tampak dari kesediaan dan kerelaannya untuk menjadi martir menggantikan kawan-kawan seperjuangan  yang lainnya, ketika beliau dan kawan seperjuangannya akan dieksekusi mati oleh Jepang. “Keun wae Akang anu maju jeung tanggungjawab urusan (pemberontakan) ieu, nu lain teu kudu dibabawa.”

2. Keteguhan hati dan ketegasan dalam memegang prinsip dan menegakkan kebenaran
            Keteguhan hati K.H.Z. Musthafa dalam memegang prinsip dan menegakkan kebenaran paling tidak dapat dilihat dari tiga fenomena dalam sejarah perjuangannya. Pertama, ketidak takutannya dan ketidak jeraannya terhadap ancaman pemerintah Dai Nippon yang sudah berulang-kali menjebloskannya keluar masuk penjara,[17]akibat ceramah-ceramahnya yang keras dan pedas, mengkritik pemerintahan Jepang dan membencinya, karena bagian dari munkarot dan menyengsarakan serta menindas rakyat. Beliau tetap berani berdakwah menentang kolonial, meskipun sering-kali di tengah-tengah ceramahnya diberhentikan oleh pemerintah Jepang dan dibuntuti oleh intel Jepang setiap kali melakukan ceramah di tengah-tengah masyarakat yang mengaguminya. 
Kedua, dalam ajakannya terhadap sahabatnya, K.H. Ruhiyat (Ajengan Cipasung), yang mendapatkan penolakan. Sebelum melakukan perlawanan dan pemberontakan (jihad) terhadap penjajah Jepang, K.H.Z. Musthafa sempat mengajak sahabatnya, Ajengan Cipasung (K.H. Rukhiyat) untuk bersama-sama bergabung melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap penjajah Jepang. Akan tetapi, niatan dan rencana perjuangannya ini secara halus ditolak oleh sahabatnya dengan alasan ingin mengembangkan sistem pendidikan pesantrennya di Cipasung. Dalam pikiran Ajengan Cipasung pengembangan pendidikan Islam juga penting, sehingga tidak seharusnya semua pergi berjihad melawan penjajah Jepang. Penolakan sahabat karibnya ini untuk melakukan pemberontakan, tak sedikitpun mengurungkan niatnya dan menyurutkan nyalinya untuk berpaling dari niat dan tekad awalnya. Beliau tetap berpegang pada prinsip bahwa penjajahan merupakan sebuah kezaliman dan kesewenang-wenangan yang wajib dilawan dan dimusnahkan dari bumi Ibu Pertiwi Indonesia. Oleh karena itu, dengan keteguhan hati dan kekuatan memegang prinsip kebenaran, K.H.Z. Musthafa tetap melangsungkan niatnya dan segera menyusun rencana dan strategi perlawanan dengan mengajak santri dan masyarakat sekitar pesantren.
            Ketiga, ketika beliau dibebaskan oleh pemerintah dai Nippon, Jepang, dari penjara masa akhir kolonial Belanda, dan ditawari dan dibujuk rayu berkali-kali oleh pemerintah Dai Nippon untuk bekerja-sama dan membantu pemerintahan Dai Nippon, K.H.Z. Musthafa menolaknya, meskipun kebijakan pemerintahan Dai Nippon berbeda dengan kebijakan kolonial Belanda, yang mana Dai Nippom lebih merangkul para ulama (kiai).[18]

Penjajah Jepang selain membebaskan para kiai dari tahanan dan mengajaknya untuk bekerja sama, juga menyediakan wadah organisasi umat Islam, seperti pendirian Masyarakat Muslimin Indonesia (Masyumi)[19]. Selain itu, umat Islam juga diikutsertakan secara aktif dalam barisan militer yang dibentuk Jepang, yaitu Pembela Tanah Air (PETA), yang pada gilirannya memperoleh kesempatan memimpin barisan militer[20]. Kebijakan politik Jepang ini dimaksudkan untuk memobilisasi Islam Indonesia di satu sisi. Dan menciptakan hubungan yang erat antara elite tokoh Islam (kiai dan ulama) dengan para pengikutnya di pedesaan[21]. Beberapa umpan politik Jepang ini menarik bagi sebagian kiai dan ulama pedesaan, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terlibat aktif dalam M.I.A.I, Masyumi, atau PETA. K.H.Z. Musthafa bersikeras untuk tidak bergabung dan menolak secara tegas salah-satu organisasi rekayasa penjajah Jepang tersebut.

Penolakan beliau berdasarkan pada pertimbangan bahwa baik Belanda maupun Jepang sama-sama penjajah yang menindas dan menyengsarakan rakyat serta bersikap sewenang-wenang terhadap sumber kekayaan alam Indonesia. Selain melakukan penolakan, K.H.Z. Musthafa justru melanjutkan ceramah-ceramahnya dan kritik serta kecamannya terhdap pemerintah Dai Nippon, sebagaimana yang dilakukannya terhadap pemerintahan kolonial sebelumnya.[22]
  
3. Kemampuan Pengelolaan (Managment), Perencanaan, Tanggung-Jawab dan Keberanian Mengambil Resiko
            Ketika merencanakan untuk melakukan pemberontakan terhadap Dai Nippon, (Penjajah Jepang), K.H.Z. Musthafa memiliki langkah-langkah strategis dan perncanaan matang yang menunjukkan kemampuan pengelolaan dan rasa tanggung-jawabnya sebagai inisator dan pemimpin umum perlawanan dan pemberontakan (jihad) melawan penjajah Jepang. Pertama, K.H.Z. Musthafa memberitahukan kepada para santri dan masyarakat sekitarnya untuk mengadakan perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintah Dai Nippon, Jepang. Dalam pemberitahuan ini, unik dan menariknya bekiau tidak mengijinkan seluruh santri ikut dan terlibat dalam perlawanan dan pemberontakan (jihad). Santri-santri senior yang sudah cukup keilmuannya justru diperintahkan untuk pulang dan mukim di kampung halamannya, menyebar-luaskan ilmu agama.[23] Kedua, K.H.Z. Musthafa berencana mengadakan serangkaian kekacauan dengan melakukan penculikan terhadap pemimpin militer Jepang di Tasikmalaya. Ketiga, K.H.Z. Musthafa memerintahkan para santrinya menggunakan senjata bambu runcing dan meningkatkan kemampuan bela diri pencak silat, yang sebelumnya telah menjadi bagian pelajaran yang diajarkan di Pesantren Sukamanah. Latihan penggunaan senjata bambu runcing dan pencak silat ini dilakukan setiap hari di Pesantren Sukamanah secara terbuka, sehingga suasananya cukup semarak dan akhirnya diketahui oleh pemerintah Dai Nippon, Jepang. Keempat, selain memerintahkan latihan fisik yang terdiri dari bela diri pencak silat dan kemampuan penggunaan senjata bambu runcing, K.H.Z. Musthafa juga memerintahkan santrinya untuk latihan mental-spiritual melalui memperbanyak zikir, mengurangi makan dan tidur (bangun untuk sholat malam). Latihan spiritual ini menambah gelora semangat perlawanan para santri dan masyarakat sekitar terhadap penjajah Jepang. Kelima, untuk menghimpun kekuatan pasukannya, K.H.Z. Musthafa membagi pasukannya, yang terdiri dari sebagian santri dan masyarakat sekitar, ke dalam empat kelompok pasukan. Keempat kelompok pasukan ini diketuai oleh santri-santri senior, terdiri dari Damon, Abdul Halim, Najmudin dan Ajengan Subekti. Kempat  ketua pasukan ini di bawah komando K.H.Z. Musthafa dan Najmudin, santri kepercayaannya.    
4. Kemampuan Memberikan Solusi terhadap Persoalan Bangsa
            Kolonialisme dari manapun asalnya dan apapun bentuknya sama-sama menyengsarakan rakyat dan bangsa yang dijajahnya. Baik kolonialisme Belanda maupun Jepang pada hakikatnya merupakan problem terbesar bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan. Cara terbaik dalam mengatasi persoalan tersebut tentunya dengan mengusir penjajahan dari bumi pertiwi. Perlawanan merupakan salah-satu bentuk penolakan dan upaya pengusiran terhadap penjajahan. Perlawanan dan jihad Sukamanah, terdiri dari santri dan masyarakat sekitar di bawah komando K.H.Z. Musthafa, merupakan solusi alternatif terbaik dalam melawan kolonialisme. Karena parlawanan dan jihad fisik (pemberontakan) Sukamanah telah memberi jalan terbuka terhadap proses kemerdekaan R.I dari penjajahan yang menyengsarakan rakyat dan bangsa Indonesia. Kemerdekaan R.I tidak mungkin terjadi pengusiran terhadap penjajah dari bumi pertiwi Indonesia, karena kemerdekaan R.I dan pengusiran terhadap penjajah tidak mungkin tanpa perjuangan (jihad), perlawanan dan pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang dan penentang penjajah, seperti yang dilakukan oleh K.H.Z. Musthafa, para santri dan masyarakat sekitar Sukamanah.      
5. Semangat Pembaharuan dan Pergeseran Peran Pesantren dari Tradisi ke Arah Pergerakan
            K.H.Z. Musthafa pada hakekatnya juga seorang pembaharu dalam peranannya  mengembangkan dan memajukan sistem pendidikan pesantren dan perubahan mentalitas masyarakatnya. Pesantren memiliki peran ke dalam dan ke luar. Ke dalam mendidik para santri dalam tiga aspek sekaligus; 1) kognitif dan kecerdasan intelektual, dengan memadukan pengetahuan agama dan umum, kecerdasan spiritual dengan latihan dan riyadhah mental melalui tarekat, zikir, mengurangi tidur dan makan dan kecerdasan sosial, melalui kepekaan terhadap bahaya kolonialisme dan solusi alternatif mengusirnya melalui perlawanan dan jihad yang dilakukan secara bersama-sama dan koordinatif antra pesantren (kiai), santri dan masyarakat sekitar. Pemaduan ketiga aspek tersebut berjlan beriringan dengan pembaharuan kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkannya seperti yang telah diulas di muka.
            Sementara peran pesantren ke luar, berhasil memposisikan pesantren dari “pinggiran ke pusat” dan dari sistem pendidikan yang diimijkan tradisional menjadi sebuah pergerakan sosial menuju ke arah proses kemerdekaan dan nasionalisme. Pesantren dengan demikian menjadi bersinggungan langsung dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan, karena pesantren berhadapan langsung dan melakukan perlawanan terhadap kolonialisme belanda dan Jepang. Dalam kaitan ini, pesantren dapat dikatakan sebagai kancah perjuangan dalam konteks kebangsaan dan agent of change dalam masyarakat dan bangsa. Proses perubahan masyarakat dan bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi negara merdeka adalah bukti perubahan sosial-kebangsaan yang terjadi melalui peran pesantren. Demikian juga perubahan mentalitas masyarakat pedesaan dari tunduk dan taat kepada penjajah menjadi pemberani melakukan jihad yang dimanipestasikan dalam perlawanan dan pemberontakan melawan penjajah Jepang. Perubahan mentalitas ini tidak lepas dari peran ke luar K.H.Z. Musthafa dalam melakukan tabligh dan dakwah di masyarakat dan di desa-desa untuk membenci dan melawan penjajahan karena penjajahan bagian dari munkarot dan menindas serta menyengsarakan rakyat.       

E. Penutup
            K.H.Z. Musthafa merupakan sosok kiai pesantren kosmopolitan yang memiliki  pelbagai kemampuan melampaui/mendahului zamannya. Ciri enebling-nya dapat ditelusuri dan ditangkap dari posisinya sebagai kiai pesantren yang inovatif, transformatif, solitif (problem solver) dan kontributif terhadap persoalan zamannya baik di dalam (intern) pesantren maupun di luar (ekstern) pesantren, yang mencakup masyarakat sekitar dan masyaralat pedesaan, aktifitas dalam organisasi NU sebagai wakil Syuriah dan perannya sebagai tokoh nasional yang melakukan perlawanan dan pemberontakan, dalam konteks jihad, baik terhadap pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Sebagai kiai pesantren K.H.Z. Musthafa telah berhasil melakukan pembaharuan ke dalam pesantren dan merubah citra pesantren dari tradisi (sebagai pendidikan Islam tradisional) ke arah perubahan sosial, pergerakan nasional dan proses kemerdekaan R.I. Di samping itu, K.H.Z. Musthafa juga telah berhasil menjadikan pesantren sebagai socio-cultural power (kekuatan sosial-budaya), bukan saja dalam sistem pendidikan dan kurikulum yang dirancangnya, tetapi dalam bersinggungan dengan dan memberikan respon, kontribusi dan solusi alternatif terhadap persoalan bangsa pada masanya, yaitu kolonialisme dan sempat menjadi lembaga pendidikan Islam yang ditakuti dan disegani oleh kolonialisme Belanda dan Jepang karena dianggap membahayakan kemapanan mereka. Oleh karena itu, sebagai santri dan alumni pesantren mengangkat kembali peran pesantren sebagai socio-cultural power dan agent of change menjadi tanggung-kawab bersama.    
            Kepahlawanan K.H.Z. Musthafa merupakan bagian (kecil) dari buah (hasil) perjuangannya dalam menentang dan melawan kolonialisme, khususnya Jepang berdasarkan prinsp pandang keagamaan Islam (tauhid) dan semangat jihad yang merupakan ajaran penting dalam Islam. Jauh sebelum perlawanan tarhadap kolonialisme K.H.Z. Musthafa telah menunjukkan konsistensi perjuangan yang panjang dalam sejarah hidupnya, yang dimulai sejak pengembaraannya mencari ilmu di barbagai pondok pesantren di Jawa Barat, mendirikan Pesantren Sukamanah pada tahun 1927, melakukan pelbagai pembaharuan di dalam pesantrennya dan aktif dalam ceramah-ceramah dan tabligh di masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan K.H.Z. Musthafa telah muncul jauh sebelum penentangan dan pemberontakan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang pada paroh perama awal abad ke-20.
            Penggalian kembali dan aktualisasi terhadap nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan K.H.Z. Musthafa pada masa kini (dan akan datang) memiliki makna penting dan urgen berdasarkan dua hal berikut. Pertama, nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanannya, seperti telah diungkapkan di atas, akan tetap senantiasa relevan sepanjang zaman untuk diaktualisasikan, karena ia berisi prinsip-prinsip dasar yang bersumber dari wahyu al-Qur’an, berhubungan langsung dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan memberikan kontribusi positif dalam memecahkan persoalan bangsa. Kedua, ia juga relevan pada masa kini sebagai cerminan dalam memecahkan persoalan bangsa yang komplek dan complicated dari sudat pandang keagamaan Islam, khususnya pesantren dalam kaitannya dengan kebangsaan. Di tengah-tengah memudarnya nilai-nilai moral dan kompleksitasnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran dan persoalan tenaga kerja (TKI/TKW) di laur negeri dan lain-lain, sosok seperti K.H.Z. Musthafa sungguh sangat diperlukan. Pesantren, kiai dan santri dalam pengertiannya yang luas dalam kaitan ini perlu untuk mengaktualisasikan atau mengejawentahkan nilai-nilai dan ruh ajaran agama Islam dalam memecahkan persoalan bangsanya, seperti yang dilakukan oleh K.H.Z. Musthafa sekitar 65 tahun yang lalu.
            Hal terpenting dan paling mendesak untuk dilakukan oleh kita sebagai benerasi muda alumnus pesantren adalah menjadi K.H.Z Musthafa-K.H.Z. Musthafa baru dalam tugas, peran dan fungsinya masing-masing, sehingga memberikan nilai kemanfaatan yang positif, inovatif dan konributif bagi masyarakat dan bangsa, sebagaimana yang telah dilakukan oleh K.H.Z. Musthafa.
Wallahu a’lam bi al-showab.     
       
                     



[1] Makalah ini dipresentasikan pada 11-02- 2012 dalam seminar nasional tentang menggali nilai-nilai kepahlawanan K.H.Z. Musthafa, diselenggarakan oleh alumni pesantren Sukamanah di Yogyakarta.   
[2] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta : LP3S, 1987), hlm.152.
[3] Dalam catatan sejarah Indonesia, nasionalisme ini hadir dengan munculnya Budi Utomo pada tahun 1905, suatu simbol bangkitnya bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme dan menuju cita-cita kemerdekaan bangsa. Setelah itu bermunculan organisasi-organisasi lainnya baik yang bersifat kedaerahan seperti, Jong Java, jong Sumatra, kebudayaan, seperti Taman Siswa, ekonomi-keagamaan, seperti Sarekat Islam, dan politik, seperti Indies Partij, Partai Nasional Indonesia dan lain-lain. Selengkapnya lihat Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional : dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, l987), hlm. 29-38.
[4] Karel. A. Steenbrink, Pesantren  Madrasah Sekolah : Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3S, 1986), hlm. 42.
[5]  Suhartono, Op.Cit.
[6] Politik Etis kolonial pada intinya memberikan kesempatan kepada masyarakat Bumiputera untuk dapat mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Namun pada kemyataannya, pendidikan ini hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat elite atau para priyai yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pemerintah kolonial. Sementara masyarakat pribumi yang kurang dan tidak mampu tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Dalam kaitan ini pesantren menjadi pendidikan alternatif yang murah bagi rakyat Indonesia yang kurang dan tidak mampu. Selain politik etis, pemerintah kolonial juga mengeluarkan peraturan Ordonansi Guru yang isinya memerintahkan agar para guru ngaji diawasi dan dikontrol oleh pemerintah kolonial karena dianggap mengancam membahayakan kolonial. Mengenai Politik Etis dan Ordonansi Guru ini lihat Dr. Akib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta : LP3S, 1985), hlm. 9.
[7] Pada awal abad ke-20 Kabupaten Tasikmalaya tengah melakukan pembangunan di berbagi bidang, sehingga Bupati Tasikmalaya saat itu R.A.A Wiratanuningrat terkenal sebagai bupati pembangunan, karena aktif dalam membangun Kabuten Tasikmalaya di berbagai bidang awal abad ke- 20. Lihat Ietje Marlina, Peranan R.A.A. Wiratanuningrat Sebagai Bupati Pembangunan Tasikmalaya Awal Abad Ke-20.  Penelitian Universitas Padjadjaran, Fakultas sastra, 1988. 
[8] Dalam pandangan Pijper, pengelompokkan kiai kooperatif dan non kooperatif ini disebut dengan istilah ulama birokrat dan ulama bebas. Ulama Birokrat adalah ulama yang menjadi pejabat keagamaan sultan atau pemerintah kolonial dan loyal terhadapnya. Ulama ini sering dikontraskan dengan ulama bebas yang menentang (non kooperatif) terhadap kolonial. Lihat Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, 1900-1970, terj. Tujimah dan Yessi Angustin (Jakarta : UII Press 1984), hlm.72. Meskipun dari sisi istilahnya berbada, namun pengelompokkan dengan dua istilah tersebut menunjukkan bahwa tipologi kiai di Tanah Air secara umum terbagi kepada dua kategori kiai yang pro kolonial dan kiai yang menentang kolonial.   

[9]  Perhitungan lama mondok selama lima belas tahun itu adalah 3 tahun di Gunungpari, 3 tahun di Cilenga, 3 tahun di Sukamiskin, Bandung, 3 tahun di Sukaraja, Garut, 1 tahun di Jamanis dan 5 tahun di Mekkah.
[10] K.H Sobandi adalah pengasuh Pesantren Cilenga. Latar belakang pendidikannya dari Mekah, Timur Tengah, selama 7 tahun. Selama di Mekah Ia sempat belajar kepada Ahmad Khatib, Minangkabau, salah-seorang pembaharu pendidikan Islam di Indonesia, K.H. Ahmad Sanusi dari Sukabumi, pembaharu pendidikan pesantren dan pemikiran keagamaan di Jawa Barat masa kolonial, dan K.H Junaidi dari Garut, Jawa Barat.
  
[11] K.H. Zaenal Muhsin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sukahideng yang menurut beberapa sumber sering mengadakan pembicaraan khusus setiap ba’da Jum’atan di rumahnya Sukahideng. Selain menjaga hubungan silaturahmi sesama saudara, pembicaraan itu juga menjadi boleh jadi bagian dari curhat dan tukar pendapat mengenai banyak hal. Karena K.H. Zaenal Muhsin sudah semenjak di Pesantren Gunungpari menjadi “guru dan pembimbing” spiritualnya.  
[12] Sjarief Hidajat, Riwayat Perdjuangan Kiai Hadji Zainal Musthafa, cet. ke-1, 1970, hlm. 25.  
[13] Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Perlawanan Santri Pesantren Sukamanah terhadap Jepang, Februari 1944, hlm. 48.
[15] Selama pemberontakan itu, 198 pasukan Sukamanah gugur sebagai syuhada, 900 orang dipenjarakan di Tasikmalaya dan sembilan ratus sisanya berhasil selamat dari penangkapan Jepang. Lihat K.H, Wahab Muhsin dan Fuad Muhsin, Sejarah Singkat Perjuangan Pahlawan Nasional K.H.Z. Musthafa, hlm. 7.
[16] Gelar Kepahlawanan K.H.Z. Musthafa sebagai Pahlawan Nasional baru dianugerahkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sekitar 28 tahun kemudian, yaitu tahun 1972, melalui Kepres No. 064/TK/1972. Lihat Subhan SD, Ulama-Ulama Oposan, 2000..
[17] Paling tidak sudah tiga kali K.H.Z. dijebloskan ke penjara oleh pemerintah kolonial Jepang, yaitu penjara di Tasik, di Suka Miskin dan di Ciamis.
[18] Aziz, M.A. Japan’s Colonialism and Indonesia (The Haque: Martinus Nijhoff, 1955), h. 200. Pada prinsipnya politik Islam Jepang menempatkan ulama sebagai corner stone, sehingga ulama ikut dalam politik dan pemerintahan, tidak menjadi golongan marginal. Baca selengkapnya Nouruzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis (Jakarta : LP2M, 1983), hlm.94.
[19] Daniel Dhakidal, Partai Politik….. , op.cit. hlm. 8-9.
[20] Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural,” dalam Pesantren, Vol. 3 (VII), 1986, hlm. 3-9
[21] Robert Revenelle Jay, Religion and Politic in Rural Central Java, Cultual Report Series, No.12 (New Haven: Yale University Press, 1963), hlm. 24. Lihat juga Nouruzzaman Shiddiqi, op.cit., hlm. 111.
[22]  Di dalam benaknya, baik kolonial Belanda maupun Jepang sama-sama penjajah, yang meskipun tampak  luarnya baik dan merangkul Islam, hanya akan menyengsarakan dan menindas rakyat. Apalagi, menurutnya penjajah itu telah melanggar hukum-hukum  dan aturan Allah (agama),  yang karenanya harus dilawan. Pada dasarnya fasisme Jepang memang hanya hendak menjadikan ulama (kiai) sebagai alat untuk memobilisasi rakyat hingga tingkat akar rumput, sehingga politik Jepang untuk menguasai ekonomi rakyat (pertanian) dan menciptakan keamanan dapat tercapai. Jepang juga secara ketat mengawasi organisasi-organisasi dan pendidikan Islam. Lihat Harry J. Benda, hlm.140.

[23] Perintah ini sesuai dengan semangat dan ruh al-Qur’an dalam Surah al-Anfal :  agar kaum Muslimin dalam berjihad tidak semuanya pergi berjihad ke Medan Perang, melainkan sebagiannya dicadangkan menjadi kelompok yang tafaquh fi al-din untuk penyebar-luasan agama Islam.

1 komentar: